Masjid Gedhe Kauman, Masjid yang menjadi Simbol Budaya Yogyakarta


Masjid Gedhe Kauman adalah salah satu masjid terbesar di Jogja, serta masjid yang menjunjung simbol budaya yang tinggi karena arsitektur pada masjid ini menggunakan arsitektural jawa. Masjid ini bertempat di sebelah barat kompleks Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. Masjid Gedhe Kauman dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kiai Penghulu Faqih Ibrahim Diponingrat pada hari Ahad Wage 29 Mei 1773 atau 6 Rabi'ul akhir 1187 H.
 
Masjid ini menjadi simbol harmonisasi sisi kebudayaan khas Kerajaan Yogyakarta yang sarat perjalanan sejarah dengan religiositas masyarakatnya. Selain menjadi sarana beribadah bagi keluarga kerajaan dan rakyatnya, masjid yang juga dikenal sebagai Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut dibangun sebagai kelengkapan Kerajaan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat.
 
Penataan bangunan masjid melambangkan budaya Jawa Islam, karena tampak pada atap masjid yang menggunakan pola susun tiga gaya tradisional Jawa bernama Tajug Lambing Teplok. Tajug Lambing Teplok memiliki makna lampu penerang yang menempel atau tergantung di dinding. Pola ini bermakna tiga tahapan pencapaian kesempurnaan hidup manusia, yaitu hakikat, syariat, dan ma’rifat. Sebuah makna yang menggambarkan proses dan tahapan seseorang dalam menjalani  Agama Islam. Selain itu ada pula yang mengartikan Islam, Iman dan Ihsan.
 
Pada ujung teratas lapisan atap terdapat mustaka, mustaka tersebut berbentuk daun kluwih(sejenis buah sukun) bermakna sebuah keistimewaan bagi individu yang telah mencapai kesempurnaan hidup, dan gadha berbentuk huruf alif yang menjadi lambang hanya Allah yang satu atau esa.
Perpaduan semua simbolisasi tersebut memuat makna bahwa orang yang telah menjalani hakikat, syariat, dan ma’rifat, hidupnya akan selalu dekat dengan Allah Yang Maha Esa.
 
Pada 20 Syawal 1189 Hijriah Masjid Gedhe dilakukan pembangunan lagi, yaitu serambi masjid yang berfungsi sebagai ruang serbaguna dan pada sisi utara dan selatan halaman masjid dibangun dua ruang pagongan sebagai tempat memainkan gamelan setiap bulan Maulid diselingi dakwah ulama. Hal tersebut dinamakan Sekaten dan masih dilestarikan hingga sekarang.
 
Terjadi pembangunan lagi pada 23 Muharam 1255 H, yaitu membangun pintu gerbang yang disebut gapuro. Pintu ini terletak pada sebelah timur masjid. Kata gapuro ini berasal dari kata ghafuro yang berarti ampunan dari dosa.
 
Pada Senin Wage, 7 Safar 1284 H terjadi gempa bumi yang meruntuhkan sebagian bangunan masjid pada pukul 5 pagi. Gempa tersebut mengakibatkan runtuhnya Gapuro dan Serambi Masjid serta menimpa kyai Penghulu hingga meninggal dunia. Karena hal tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Raja kala itu), memberikan kagungan dalem "Surambi Munara Agung" berupa material yang sedianya dipergunakan untuk membangun Pagelaran Kraton kemudian dialihkan untuk membangun kembali Serambi Masjid yang runtuh.
 
Setelah pembangunan, serambi tersebut dinamai Al Mahkamah Al Kabiroh yang  memiliki fungsi untuk mengurus masalah sosial kemasyarakan dilambangkan dengan profil delapan buah nanas menggantung pada setiap tiang utamanya.
 
Serambi masjid yang baru terdiri dua lantai, bagian atas dan bawah. Pada bagian atas terdapat 24 tiang penyangga, serta bagian bawah terdapat 32 tiang penyangga. Berbeda dengan tiang-tiang di ruang salat utama, semua tiang yang ada di serambi masjid mempunyai umpak (alas) dari batu. Pada setiap tiang terdapat relief dan kaligrafi tentang perkembangan kehidupan beragama di tanah Jawa yang pada awalnya orang Jawa memeluk agama Hindu, kemudian profil di atasnya menggambarkan stupa (agama Budha).
 
Kemudian berkembang ke atas lagi yang menunjukan masuknya agama Nasrani. Di atasnya lagi terdapat kaligrafi yang berbentuk stilir tumbuhan terbaca Muhammad dan Ar-Rahman, lalu di puncaknya terdapat kaligrafi yang berbunyi Allah.
 
Seni hias atau pahat yang terdapat di masjid ini selain sebagai penghias juga memiliki makna simbol yang erat kaitannya dengan agama Islam. Profil buah labu atau waluh yang terdapat disetiap pilar pagar dan pintu gerbang adalah untuk mengingatkan kepada Allah SWT.
 
Kembali ke dalam ruang sholat utama, ruangan ini memiliki dinding batu alam putih dengan tiang-tiang yang terbuat dari kayu jati. Lantai pada ruangan tersebut terbuat dari marmer yang didatangkan dari Italia. Sama sekali tidak terdapat sapuan cat di ruangan ini, menandakan bahwa setiap orang yang hendak beribadah harus dalam kondisi suci.
 
Menurut para ahli, tiang-tiang penyangga tersebut menggunakan kayu jati Jawa yang digunakan secara utuh tanpa sambungan dan telah berusia antara 400 sampai 500 tahun. Selain mihrab dan mimbar, terdapat maksura yaitu sebuah ruangan kecil pada shaf terdepan yang merupakan tempat khusus bagi sultan dan keluarganya melaksanakan ibadah.
 
Selain kental akan kebudayaan, suasana masjid juga terasa sejuk dengan adanya blumbang, yakni kolam yang mengelilingi serambinya. Pada zaman dahulu kolam ini dialiri air jernih untuk membersihkan kaki sebelum memasuki masjid. Akan tetapi kolam saat ini tidak dioptimalkan fungsinya.

Itulah beberapa unsur sejarah dan nilai kebudayaan yang bisa kita kulik dan masih banyak lagi yang bisa kita telusuri karena setiap komponen pada bangunan ini memiliki makna tersendiri. Bangunan ini pun juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Per.Men Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011.



Dibuat oleh :

Nur Chatami/@chatami._ (admin @budak_desain)


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanfaatan Ruang Sisa Pada Rumah

Makna ornamen pada Pendopo Manggala Parasamya II Pemda Bantul